Posted by Administrator | Kategori: Psikiatri Militer

Case Report Psikoterapi Singkat pada Kasus Pilot Tempur Kolonel Kes Dr. Srimpi Indah Z., Sp. KJ., FS

Pendahuluan

Kasus ini sangat menarik, sebab selama ini kasus pilot tempur yang terpaksa switch menjadi pilot transport selalu diawali adanya insiden atau accident yang membuatnya tidak qualified lagi secara fisik menjadi penerbang tempur. Namun pada kasus ini, tidak didahului adanya insiden atau accident.

Seorang pilot tempur dikirim kepada psikiater pemeriksa atas perintah dinas (mandatory) karena mengalami hambatan dalam tugasnya. Berdasarkan data yang dimiliki diketahui bahwa, hasil pemeriksaan psikiatri sejak awal masuk: Aeromedical Adaptable (AA); fit and proper sebagai seorang pilot militer. Menurut hasil pemeriksaan psikologi, hampir semua ranah dalam kategori bagus. Kemampuan kognitif bagus, IQ 125. Keterampilan Tugas Berganda: bagus. Kemampuan visuospatial: bagus. Penalaran Logika dan Matematika: bagus. Kemampuan operasional terbang: bagus. Sikap Kerja; Bagus. Tidak ada hambatan dalam proses belajar dan mempelajari hal baru. Berdasarkan nilai ijazah saat pendidikan Flying School: Bagus. Direkomendasikan menjadi penerbang tempur. Namun ketika berdinas, hasil assessment para instruktur dalam 2 tahun tugas di Skadron udara tempur: sulit diberi pemahaman atau ilmu baru. Hingga Jam Terbang (JT) habis, silabus tak terselesaikan.

Permasalahan: terdapat discrepancy antara data vs kenyataan di lapangan. Kesulitan pemeriksa adalah seringkali anggota yang dirujuk oleh dinas (mandatory), menyangkal adanya kesulitan. Psikiater pemeriksa harus mampu menemukan permasalahan tersebut dan sesegera mungkin mengambil langkah untuk kebaikan institusi dan personel tersebut.  Selain kewajiban mengembalikan anggota sesegera mungkin untuk siap bertugas, juga harus menemukan apa permasalahan yang menyebabkan ketidakberhasilannya melaksanakan tugas dalam waktu yang terbatas. Durasi yang diberikan berdasar aturan adalah maksimal 30 hari (3 Juni sd 4 Juli), pertemuan sejumlah 8 sesi (sepekan dua kali).

Dalam perjalanan terapi digali sejak masa tumbuh kembang dan mencari factor pencetus permasalahan. Selanjutnya dilakukan psikoedukasi, tentang luasnya kesempatan anggota tsb. untuk berkembang dan alternatif–alternatif lain di masa depan, serta diajak melakukan role play terhadap berbagai alternatif yang ada.

Gambaran Kasus

  • Identitas: PNB, laki-laki, 28 tahun, belum menikah, anak pertama dari 3 bersaudara yang semua laki-laki. Ayah Batak (purnawirawan TNI), Ibu NTT (dahulu aktif dalam kegiatan istri TNI).

 

  • Riwayat Masa Kecil-Remaja-Dewasa:
    • Sejak SD, SMP dan SMA: hampir selalu menjadi Bintang Kelas, minimal 10 besar. Sejak kecil selalu ditarget oleh orang tuanya (dalam hal ini dominan ibu), untuk mencapai segala sesuatu yang terbaik. Ia hampir tak pernah memiliki teman main, karena kesibukannya adalah belajar dan meraih prestasi. Ketika PNB meraih prestasi maka ibunya memberi reward boleh bermain play station dengan adiknya. Ia tidak ingat mengapa hanya dirinya yang diwajibkan belajar keras. Yang pasti, jika nilainya bagus, maka tanpa melihat nilai adik-adiknya, mereka boleh bermain bersama. Sedangkan ia, boleh bermain hanya jika syaratnya terpenuhi. Jika nilainya tidak bagus, maka bukan hanya tidak diberi kesempatan bermain, ia juga dipukul. Tidak ada kesempatan memvalidasi perasaan, tidak ada pola afeksi dari orangtua terhadap PNB. Empati orang tua selama masa perkembangan sangat kurang. Bagaimana jika seorang anak capek harus belajar terus, bagaimana jika kesal terhadap sesuatu atau bagaimana orangtuanya mendukung pada ranah selain harus berprestasi.  PNB tumbuh dengan kurangnya empati orang tua selama masa perkembangan.
    • PNB menyatakan sejak zaman sekolah dulu “Saya punya jiwa bersaing, bahkan jika teman di kelas nanya, saya merasa harus nanya juga, aktif kan menambah nilai, ya?’ PNB akan merasa sangat menyesal jika nilainya tidak 100, ia juga menyesal jika ada teman yang nilainya lebih bagus. Ia merasa kurang belajar, atau kurang teliti atau lengah.
    • Masa Dewasa: Setamat SMA, ia ingin masuk Flying School di Florida, US untuk menjadi pilot. Ibunya menyampaikan bahwa biaya sekolah tersebut sangat mahal, dan ia harus memikirkan biaya untuk adik-adiknya. Akhirnya PNB tidak jadi ke US, dan mendaftar TNI karena dimotivasi ayahnya bahwa di Airforce Academy bisa menjadi pilot juga, dan bahkan bisa menjadi pilot tempur.
    • Masuk TNI: lulus murni, nilai cukup bagus. Selama menjadi taruna, lancar dan tidak pernah tinggal kelas, tidak pernah pula turun pangkat. Ia menggunakan waktu pesiarnya, untuk les Bahasa Inggris di English café. Ia jarang sekedar jalan-jalan, atau bersantai menikmati waktu. PNB senang berbagi ilmu dengan para juniornya, mengajari berbagai trick agar mereka mampu menyelesaikan tugas dengan baik walaupun banyak kegiatan fisik yang dibebankan. Namun jika kepada kawannya, ia selalu berpura-pura asyik dengan mereka, agar tidak terlihat bahwa ia belajar lebih dibanding temannya yang lain.
    • Saat Tingkat III, ia pernah merasa down, tidak semangat belajar sehingga nilainya jelek, karena saat itu ada senior yang mengatakan padanya “gak penting pinter itu, kalau attitude-nya jelek” – “saya kena mental, dok, padahal saat itu saya ingin mendapat tali kur. Setelah Tingkat IV baru saya melaju lagi”. Menurutnya karena saat Tingkat IV sudah tidak ada yang menjatuhkan mentalnya.
    • Ketika Tingkat IV membuat skripsi, ia selesai pertama di antara letting-nya dan selanjutnya mempersiapkan diri untuk masuk Indonesian Airforce Flying School. PNB minta ‘turunan’, mempelajari catatan senior, meskipun belum tentu lolos tes. Ternyata sesuai harapan, PNB lulus dan lolos masuk sekolah penerbang. Saat menjalani Pendidikan di sekolah penerbang, ia cukup berprestasi sehingga dikirim untuk mewakili Indonesia pertukaran siswa Airforce Flying School ke LN. Ia lulus dari Flying School di LN dengan nilai baik dan direkomendasikan masuk ke Skadron Tempur. PNB merasa sangat senang dan bangga. Apalagi saat tahu teman yang bersaing saat seleksi ke LN, ternyata peraih trofi terbaik di Indonesian Airforce Flying School dan berada di skadron tempur yang sama dengannya.

 

  • Riwayat Masa Dinas
    • Masa awal dinas dapat dilalui dengan baik. Ia merasa sangat senang dan semangat melaksanakan tugas. Namun selanjutnya para instruktur menilai PNB tampak kesulitan menerima silabus Latihan di skadron tempur. Pada tahun kedua masa kedinasan, PNB dikirim kepada psikiater pemeriksa untuk evaluasi.

 

  • Perjalanan Penatalaksaan dan Proses Terapi
    • PNB datang sesi pertama pada 3 Juni 2024, dilanjutkan dengan sesi-sesi berikutnya setiap hari Senin dan Kamis atau hari lain yang disepakati. Ia selalu hadir tepat waktu atau beberapa menit sebelum sesi dimulai. Penampilan khas seorang pilot TNI, seragam rapi, bersih, harum, dan sepatu mengkilat. Saat pertama datang sangat tertutup dan formal. Namun pertemuan selanjutnya lebih terbuka. Setiap kali datang, sesi cukup sulit diakhiri, selalu tampak ingin menyampaikan banyak hal.

 

  • Fase-Fase Psikoterapi:
    • Fase awal saat datang sangat normative, datang hanya karena ada perintah untuk bertemu pemeriksa. Setiap pertanyaan hanya dijawab: ‘siap’. Pemeriksa pada awal berusaha membangun rapport dan menumbuhkan trust serta meyakinkan PNB.  
    • Setelah terbangun rapport, pemeriksa yakinkan bahwa institusi memiliki niat baik mengirim PNB ke Jakarta untuk mendapatkan pendampingan psikiater sehingga dapat segera kembali ditugaskan. PNB kemudian menjadi terbuka dan terungkap masih banyak kesal, marah, kecewa karena “bukannya diberikan kesempatan, namun malah saya dilaporkan pada pimpinan”; “bohonglah kalau saya tidak dibuang”. Harusnya senior itu membimbing sampai juniornya bisa, katanya kita ini brother? PNB merasa bahwa dengan dikirim ke Jakarta, artinya ia tidak dilindungi, dan tidak diberikan kesempatan mendapatkan JT tambahan. Berdasarkan rumor, ia tahu kalau harus keluar dari base.
    • PNB merasa di-down grade, tidak diizinkan menjadi penerbang tempur lagi dan tidak ditawarkan pilihan skadron tempur lainnya. “harusnya ada seribu jalan jika memang mau menolong saya”. PNB merasa dibuang. Fase ini PNB terlihat sangat menahan emosinya, hingga mata berkaca-kaca. Juga terdapat emosi negatif yang “nyesek (sambil menunjuk dada), awas aja, sampai kapanpun akan saya ingat sampai mati”. Therapist berusaha mengakomodasi anger; mengizinkan PNB marah dan membiarkannya hingga tenang. PNB bersikeras bahwa ia tetap harus terbang di pesawat tempur, “saya pasti bisa, saya pasti mampu”. Baginya percuma saja perjuangannya selama ini menjadi siswa yang baik jika dikeluarkan dari skadron tempur.
    • Fase pertemuan ketiga didapatkan clue yang sangat mungkin menjadi penyebab PNB kehilangan kemampuannya. Beberapa saat setelah masuk skadron ia diputuskan oleh pacarnya (A). “Saya nangis dok”. (PNB menunduk dan sedikit berkaca-kaca). Meskipun mama rekanita tersebut tetap mendukungnya dan memintanya untuk sabar menghadapi putrinya. “Saya berjuang sampai capek; lebih dari tiga bulan, sampai akhirnya saya menyerah”. Menurutnya itu adalah awal transisi dari pesawat latih ke pesawat tempur, yang memakan kuota JT-nya. Sebab PNB harus mengulang materi yang sama berkali-kali.
    • Setelah sekian waktu berlalu, berikutnya ia mulai berhubungan dengan rekanita lain yang kemudian menjadi pacarnya (B). Orang tua mereka sudah saling kenal, bahkan ayahnya menasehati kalau punya pacar bukan untuk main-main, tetapi harus dianggap calon istri. Ketika bersama pacar kedua, ia merasa sudah move on dari pacar pertama. PNB menyatakan ”waktu saya menjadi sangat efektif; hidup terasa begitu indah dan saya kreatif sekali; semua tugas bisa dikerjakan bisa memikirkan kerjaan tanpa ada hambatan, beneran dopping up banget, dok”. Namun pada Oktober 2022, rekanitanya tersebut selingkuh (PNB menunduk lebih dalam lagi). Ia menceritakan: “pada jam 02.00 dini hari itu kami berantem dan akhirnya dia bilang ‘putus’. Sedangkan jam 07.00 pagi itu, saya harus terbang… dan saya gak bisa terbang sama sekali; saya merasa dibuang”.
    • PNB menjalani LDR dengan pacarnya. Saat pemeriksa bertanya darimana PNB tahu bahwa B berselingkuh? Menurutnya B posting foto di IG bersama seorang laki-laki. Harusnya kan dia gak boleh begitu… harusnya kalau udah punya pacar dia tidak begini… harusnya sebagai perempuan dia tahu batasnya… harusnya dia tahu…  Ia membuka IG setelah kegiatan malam, sekitar pk. 21.00 atau 22.00, dan kemudian dilanjutkan dengan telepon B. Hingga akhirnya B menyatakan putus dan menutup teleponnya pada pk. 02.00 dini hari.
    • Pada Januari 2023, atau sekitar 3 bulan pasca putus pacar ia mulai merasa kewalahan, burn out, tidak bisa mengerjakan tugas yang diberikan, tidak bisa belajar. Terbang banyak salah. Misalnya sebagai anggota tim, ia harus keluar taxy way setelah leader, tapi ia mendahului. PNB juga tidak bisa menentukan posisi leader. Ia bahkan pernah salah menembak sasaran air to ground, bahkan meskipun merasa telah menekan tombol bom, indikator bom masih utuh. Kesalahan yang cukup banyak membuatnya harus mengulang, akibatnya instruktur selalu menyampaikan “jam terbangmu habis”.
    • à Pada saat ini pemeriksa memberikan awareness mengenai keterbatasannya, kesulitannya dan ketidakmampuannya, berdasar penilaian senior atau instruktur yang telah handle selama ini; dan membawanya dikirim ke Jakarta untuk bertemu pemeriksa.
    • Setelah putus pacar, PNB sering teriak memanggil nama mantan pacarnya tersebut saat lari pagi di barisan. Teman-temannya meskipun mentertawakan, men-support-nya dengan mengenalkan pada rekanita yang lain ( C ), yang menurutnya sekarang gak ada rasa. “Mungkin orang lain kalau saya ceritakan menganggap sepele ya, dok? Karena, mereka kan sudah merasakan seperti yang saya rasakan sejak SMA. Sedangkan saya dulu waktu sekolah sibuk belajar untuk mencapai prestasi”, “baru sekarang saya belajar tentang kehidupan”.

 

Analisis Fungsional

1. Meng-internalisasi gaya orang tua bahkan meng-adopt pola hukuman.  

Konflik yang mendasar timbul dari hasrat orang tua yang selalu mengontrol saat fase otonomi anak mulai tumbuh. Pada saat ia mencapai usia dewasa masa depannya penuh dengan penghayatan keketatan dan regulasi orang tuanya yang mungkin seolah selalu menilai dan mengawasi.

PNB seolah menjadi jaksa dan hakim sekaligus bagi dirinya sendiri. Ia siap menghukum dirinya sendiri dengan menekankan rasa bersalah seolah ada suara hati nurani yang memarahi jika tidak berhasil seperti target yang ia harapkan. Contoh:

  • Bermain gitar sampai jarinya berdarah-darah karena merasa tidak menemukan nada atau melodi/ beat yang pas seperti harapannya. PNB belajar gitar sendiri, tanpa pelatih. Menurutnya, ia tidak ingin bermain musik yang biasa saja, maka ia mentarget dirinya seperti pemain gitar X yang ia tonton di youtube. Pemain gitar X mungkin adalah idealized imago yang baginya sangat ingin dicapai.
  • Meminta dihukum instruktur di LN, saat ia tidak terbang very good.  Padahal asal tidak poor, sesungguhnya tidak menjadi masalah dan bisa melanjutkan ke tugas silabus berikutnya. Namun PNB menghadap instruktur dan minta dihukum. Instruktur yang merasa tidak ingin menghukumnya bertanya, apa yang PNB inginkan? PNB meminta menghukum diri dengan lari siang keliling sepanjang run way; dan instrukturnya mengizinkan.
  • Tidak mengenal hari libur (Minggu pagi sepulang gereja), masuk kamar langsung belajar untuk Senin, karena merasa ‘nyawanya terancam’ (jam terbangnya habis). Ia tidak mengambil waktu istirahat walaupun week end.
  • Ia jarang sekedar jalan-jalan saja, atau bersantai menikmati waktu. Perilaku inijuga diketahui instruktur, sehingga PNB pernah “ditugasi” senior untuk ikut bergabung santai malam weekend di café, berkumpul bersama para crew member lain, namun menurutnya ia tidak bisa menikmati suasana dan justru bingung mau ngapain.

2. Sejak kecil ia dididik untuk selalu patuh peraturan orangtua (figur otoritas), dituntut untuk selalu benar dalam berbagai hal, dihukum apabila tidak bisa tampil sempurna, tidak diberi reward setelah melakukan kesuksesan atau diberi reward yang sederhana saja. Ia memiliki perhatian yang tidak realistik mengenai sebuah kesempurnaan, dan melakukan penolakan terhadap kesalahan. Ketika gagal dalam mencapai kesempurnaan yang dia targetkan, ia menganggap dirinya tidak berharga. Pada situasi saat ini merasa di down grade bukan lagi pilot tempur.

3. PNB merupakan pribadi yang well prepared karena sejak kecil kognitifnya sangat diasah dan dilatih memasang target serta strategi untuk mencapai tujuan. Therapist memanfaat ini untuk membuat PNB melihat bahwa kebutuhan TNI AU sangat banyak, dan bahkan sangat luas kesempatan berprestasi.

 

Diagnosis Multiaksial

Aksis 1. Gangguan Depresi ytt

Aksis 2. Ciri Kepribadian Anankastik: secara personality bersifat perfeksionis sangat memperhatikan aturan, sangat memperhatikan detail, sehingga tidak dapat menyelesaikan hal yang dikerjakan. Perfeksionisme (normal) memiliki lebih banyak usaha positif, sedangkan Anankastik (lebih neurotic) memiliki lebih banyak perhatian evaluatif maladaptive, sehingga permasalahan tidak selesai-selesai. PNB sangat berorientasi pada pekerjaan sehingga sulit untuk bersantai santai, cenderung serius dan formal. Sulit mengalokasikan waktu luang, karena terlalu memfokuskan diri pada hal yang tidak seharusnya. Memiliki hubungan interpersonal yang kurang baik. Saat ini ia merasa hanya memiliki seorang teman yang dapat menerimanya. Teman tsb adalah putra tetangga yang sejak TK hingga menjadi pilot militer selalu satu sekolah.

Aksis 3. Tidak terdapat Gangguan KMU (hasil MCU dbn)

Aksis 4. Permasalahan psikososial: kesulitan melaksanakan tugas, memicu kecemasan. Kecemasan yang makin besar membuatnya makin tidak dapat menyelesaikan target-targetnya sebagai seorang anankastic. Hal ini makin besar dan makin menyulitkannya, timbullah depresi. 

Aksis 5. GAF Current 70. Gangguan ringan di tempat kerja dengan gejala sesekali yang merupakan reaksi terhadap stres psikologis.

 

Diskusi

  1. Data tentang pasien yang terungkap, seperti mengundang therapis untuk secara heuristic (mau tak mau) menggunakan, terutama, teori ego psychology (vide Freud, 1966). Karena hampir seluruhnya menggunakan teori psikologi ego, maka analisis ini dapat disebut analisis psikodinamik.
  2. Konflik sentral nirsadar pasien terjadi karena relasi masa kehidupan awal dengan ibu dan ayahnya yang bersikap dan bertindak menuntut, mengontrol, dan menghukum pasien, dan menanamkan harapan yang tinggi agar ia berprestasi. Relasi dengan orangtua yang mendesakkan hasrat narcissistic-nya kepada pasien ini condong menumbuhkan penghayatan pada pasien bahwa orangtua adalah kompetitor baginya. Kompetisi berlangsung antara kebebasan dan keinginan pasien sendiri di satu sisi, vs di sisi lain, kontrol serta keinginan atau kekuasaan orangtua. Namun relasi kompetitif ini sekaligus menempatkan pasien sebagai insan yang dirundung ambivalensi antara memenangkan kompetisi di satu pihak, vs di pihak lain merasa bersalah serta menghukum diri tatkala ia merasa sebagai pemenang yang tak pantas.
  3. Keadaan ini secara teoretis dapat bersesuaian dengan konflik fase anal dan Oedipal yang tersisa. Jika pasien mengekspresikan hasrat kompetitifnya secara langsung, ia takut pada pembalasan yang otoritatif, maka ia menyatakan keinginan itu secara tidak langsung dalam bentuk sikap pasif-agresif, misalnya menunda penyelesaian tugas atau tidak mengatasi tantangan. Ada kemungkinan kemacetan pasien dalam menunaikan tugas pendidikan dan pelatihan adalah manifestasi sikap pasif-agresif ini. Kebalikannya, apabila ia bereaksi terhadap ketakutan akan pembalasan dengan sikap taat, diam-diam ia menjadi marah, merasa dirugikan, dan menjadi depresif.
  4. Afek marah dan agresif yang seperti berselang-seling dengan afek depresif mewarnai psike pasien, dan dapat dirasakan oleh therapis. Gelaran derita afektif yang tak berkesudahan ini pun menghadirkan kerentanan pasien untuk mengalami depresi. Mungkin perspektif ini dapat menerangkan keterjadian keadaan depresif yang berlangsung setelah pasien mendapatkan kritik dari senior di masa studi tingkat III, dan berlangsungnya “gangguan penyesuaian (kronis) dengan afek depresif” saat ini, yang terjadi pasca penolakan dalam bingkai peristiwa putus pacar, di tengah konteks pasien sedang menjalani masa tugas awal di skadron tempur (pendidikan dan pelatihan); sebuah disfungsi yang kemudian mengantar pasien untuk mendapatkan bantuan psikiater.
  5. Pasien pun secara nirsadar menyelenggarakan isolasi afek untuk menepis pengalaman derita afektif yang silih berganti meresapi psikenya. Mekanisme defensi ini mungkin “bermanfaat”, tetapi sekaligus menghalangi pasien untuk mengembangkan relasi interpersonal dan intimacy (punya pacar) yang untuk keterselenggaraannya wajar memerlukan keterbukaan afektif. Mungkin hal ini salah satunya ternyatakan dalam masalah relasional dengan pacar. Juga dalam kenyataan kehidupannya yang hampir sama sekali tanpa teman sebaya yang dekat.
  6. Kecenderungan mengalami setiap situasi sebagai pergulatan kompetitif itu dapat dipandang sebagai jejak-jejak konflik masa anal dan Oedipal (vide Hall, 1954). Pengasuhan yang bercorak menuntut dan menghukum pada fase anal cenderung menghasilkan pribadi anankastik atau obsesif-kompulsif yang terlalu mengontrol dan miskin penghayatan afektif (Pinto, et al., 2008). Kathleen Berger menulis bahwa tidak ada penelitian yang dapat menyimpulkan terdapatnya kaitan antara konflik fase anal dan kepribadian (maksudnya, kepribadian tipe “anal”, termasuk kepribadian anankastik atau obsesif-kompulsif) (Berger, 2000). Mungkin yang diutamakan adalah penelitian kuantitatif deduktif dengan penyimpulan generalisata yang kuat. Namun jika data yang bermunculan dari penghayatan kasus nyata yang subjektif dan unik sungguh diperhatikan, dan data yang berasal dari pengalaman idiosinkratik pasien yang tidak dipukul rata juga dipandang sebagai sebentuk bukti ilmiah, rasa-rasanya kaitan itu ada.
  7. Berlanjutnya pengasuhan demikian ini akan mengantar pasien memasuki periode Oedipal dengan mengalami setiap upaya relasional sebagai power struggle: menyerah, taat, dan mengubur amarah terhadap kenyataan bahwa diri dikontrol oleh orang lain; atau memenangkan diri, meraih Oedipal Victory, dengan risiko dihukum secara langsung oleh diri sendiri yang tidak merasa pantas berada sebagai pemenang, atau mengalami penghukuman secara tidak langsung oleh rasa bersalah internal karena membuat ibu atau ayah menderita.

 

Prediksi Reaksi Pasien dalam Psikoterapi

 

  1. Secara nirsadar, pasien pun mengalami psikoterapi sebagai kompetisi. Pada awalnya ia cenderung diresapi afek depresif yang sekaligus ditandai rasa takut dan rasa bergantung kepada therapis. Lantas tatkala depresi berkurang dan ia makin merasa sebagai “pemenang”, berkembanglah rasa bersalah dan takut pada kemenangan yang dia anggap tak layak diterima oleh diri sendiri yang penuh dengan hasrat menaklukkan liyan (therapis, atasan, lingkungan).
  2. Secara teori, reaksi selanjutnya, bisa saja berupa tindakan menghentikan terapi secara prematur; atau, secara kurang destruktif, bersikap terlalu membesar-besarkan gejala depresi, menyalahkan efek samping antidepresan atau banyak mempersoalkan keluhan fisik yang secara archaic, nirsadar, ia anggap sebagai pembalasan dari ibu atau ayah. Perilaku ini bergantian dengan penghayatan bahwa therapis adalah pemenang yang kepadanya pasien berutang kebaikan. Karena takut menantang kemenangan itu secara langsung, pasien secara tak langsung membangkang terhadap otoritas ini dengan bersikap taat tetapi bersungut-sungut, dan berterima kasih tetapi secara pasif-agresif lupa pada jadwal terapi atau lupa minum obat dan menganggap terapi tak efektif.
  3. Kompetisi yang terjadi (yang tak disadari tentunya oleh pasien), bisa juga merupakan reaktivasi pengalaman fase anal (merasa punya kemampuan karena sudah mampu mengontrol sfingter ani-nya), ingin menunjukkan kemampuannya pada ibu/pengasuh; namun di sisi lain merasa berhutang budi. Karena sudah diurus oleh ibu sejak bayi, sering seperti mensabotase ketika hampir atau sudah mencapai/mendapat sesuatu.
  4. Dilanjutkan pada fase selanjutnya (Oedipal), kompetisi berlanjut dengan ayah yang merebut perhatian ibu. Namun pada kasus ini, ibu (lover) tidak menyambut dengan kasih sayang, sehingga membuatnya tidak bisa menginternalisasi rasa dan perhatian dari pacar, dan mengalami kesulitan berelasi. Muncullah rasa, ketika diputus oleh pacar (bahasa pasien: "dibuang"). The working through, yaitu resistensi (pada pasien & terapis), transferensi & kontratransferensi. Therapis berusaha berperan sebagai "ibu baru" yang baik dan perhatian.  Pemeriksa sebagai therapis harus bersiap, kalau-kalau afek yang tersimpan di alam nirsadar muncul (berupa libido dan atau agresivitas) - sehingga berpotensi menimbulkan kontratransferensi.

 

Proses Terapi

  1. Banyak hal positif yang dapat diambil. Antara lain bahwa PNB masih memiliki motivasi besar, tidak mudah mengeluh, tetap semangat dan percaya diri, tidak peduli bagaimana lingkungan menilai dirinya. Semua hal ini baik dan sangat diperlukan bagi seorangpilot militer. Sangat rasional dan tampaknya terbiasa mengatasi masalah dengan memikirkan strateginya. Kemampuan ini therapist manfaatkan untuk role play. Diakhir sesi, PNB menerima untuk menjadi penerbang transport dan meminta bantuan therapis untuk melapor pimpinan, agar tidak didinaskan sekota dengan orangtuanya.
  2. Dapat berdamai dengan masalalunya “mungkin karena saya anak sulung maka harus memberi contoh bagi adik”. Kalimat ini merupakan responnya terhadap orangtuanya yang dahulu keras, sebagai anak pertama laki-laki di Batak harus jadi contoh bagi adik-adiknya yang laki-laki semua. Sekarang kedua adiknya masuk Airforce Academy juga. Ia merasa sebagai Abang yang berhasil, meskipun heran kenapa adiknya memilih bagian Administrasi. “Apa enaknya, ya dok? Hanya ngantor pulang-ngantor pulang, besok gitu lagi”.
  3. Kembali mengingat janji saat masuk TNI, bersedia ditempatkan di mana saja dan anggota TNI harus patuh pada perintah. Menerima tidak terbang di pesawat tempur lagi. Memiliki cita-cita ingin “tumbuh dan besar” di pesawat latih, mengajari junior, bisa menjadi Athan, dan Sekolah hingga Lemhanas.
  4. Orang tua yang dahulu selalu memasang target untuk dikejar, sekarang mendukungnya. “Kamu sudah lebih baik dari papa, sudah lulusan Sekbang. Dulu, papa Sekbang aja gak lolos. Sekarang kamu sudah jadi Pnb, biar pun bukan tempur, kamu tetaplah Pnb”. Ia merasa senang orangtuanya tetap bangga padanya, dan siap menghadapi tugas-tugas lain yang akan diberikan dinas kepadanya. Ia tak perlu lagi terlalu khawatir dengan tidak menjadi yang terbaik.
  5. Pertemuan terakhir, PNB telah mendapatkan Skep baru, namun belum terbang, baru Ground School. Merasa bangga, diperintah ikut Latihan bersama USAF, dan karena mantan pilot tempur, ia diajak membuatkan narasi dari scenario yang ada. PNB bicara dalam Bahasa Inggris, dan banyak yang appreciate. PNB dengan bangga mengatakan “Kalau saya gak di Sk. xxx, saya gak akan ikut Latma USAF di Jatim. Saya junior, pasti suruh jaga kandang. Pengalaman langsung diajari Abang A yang sudah jadi andalan TNI AU jika ada kegiatan sangat luar biasa”.

 

 

 

Rujukan

  1. Berger, K. (2000). The Developing Person. New York: Worth Publishers. p. 218.
  2. Casey, P., Dowrick, C., Wilkinson, G. (December 2001). “Adjustment disorders: fault line in the psychiatric glossary”. The British Journal of Psychiatry. 179 (6): 479-481.
  3. Freud, A. (1966). The Ego and the Mechanisms of Defence. Revised edition. New York: International University Press.
  4. Hall, C.S. (1954). A Primer of Freudian Psychology. New York: New American Library.
  5. Pinto, A., Eisen, J.L., Mancebo, M.C., Rasmussen, S.A. (2008). “Obsessive-Compulsive Personality”. In Abramowitz, J.S., McKay, D., Taylor, S. (eds.). Obsessive-Compulsive Disorder: Subtypes and Spectrum Conditions. Elsevier. pp. 246-263.
  • Fase-Fase Psikoterapi: